BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidrosefalus dapat didefinisikan secara luas sebagai gangguan pembentukan aliran atau penyerapan LCS yang menyebabkan peningkatan volume pada CNS. Kondisi ini juga dapat didefinisikan gangguan hidrodinamik pada LCS. Hidrosefalus akut dapat terjadi dalam beberapa hari. Sub akut dalam mingguan dan yang kronik bulanan atau tahunan. Kondisi-kondisi seperti atrofi serebral dan lesi destruktif fokal juga menyebabkan peninmgkatan abnormal LCS dalam CNS. Pada situasi semacam ini, kehilangan jaringan serebral meninggalkan ruangan kosong yang secara pasif akan terisi dengan LCS. Kondisi semacam iu tidak disebabkan oleh gangguan hidrodinamik sehingga tidak diklasifikasikan sebagai hidrosefalus. Istilah lain yang dulu digunakan untuk kondisi tersebut adalah hidrosefalus ex vacuo.
Hidrosefalus dengan tekanan normal (NPH) digambarkan sebagai suatu kondisi yang jarang terjadi pada pasien yang lebih muda dari 60 tahun. Pelebaran ventrikel dan tekanan LCS normal pada lumbal pungsi (LP) dengan ketiadaan papil edema dimasukkan ke dalam NPH. Namun demikian, hipertensi intrakranial berulang ditemukan pada pantauan pasien yang diduga mengidap NPH, biasanya pada malam hari. Trias gejala Hakim klasik termasuk apraksia, inkontinensia, dan demensia. Sakit kepala bukanlah gejala khas pada NPH.
Hidrosefalus eksternal benigna adalah suatu defisiensi absorbsi pada bayi dan anak-anak yang self limiting dengan peningkatan tekanan intracranial dan pelebarang ruang subarachnoid. Ventrikel biasanya tidak melebar terlalu besar dan resolusi terjadi dalam satu tahun.
Hidrosefalus yang berhubungan terjadi ketika adanya komunikasi penuh antara ventrikel dan rongga subarachnoid, disebabkan oleh over produksi LCS (jarang), gangguan penyerapan LCS (paling sering), atau insufisiensi drainase vena (kadang-kadang).
Hidrosefalus yang tidak berhubungan terjadi ketika aliran LCS tersumbat dalam system ventricular atau pada salurannya menuju ruang subarachnoid, menyebabkan ketidakberhubungan antara ventrikel / ruang subarachnoid.
Hidrosefalus obstruktif disebabkan oleh obstruksi aliran LCS (intraventrikuler atau ekstraventrikuler). Kebanyakan hidrosefalus adalah obstruktif, dan istilah ini digunakan untuk membedakan dengan hidrosefalus yang disebabkan oleh over produksi LCS.
Hidrosefalus tertahan, didefinisikan sebagai stabilisasi pelebaran ventrikel, mungkin adalah akibat sekunder dari mekanisme kompensasi. Pasien ini dapat mengalami dekompensasi, terutama setelah mendapat cedera kepala ringan.
B. Tujuan
1. Dimana agar mahasiswa khususnya mahasiswa/i Stikes Nani Hasanuddin mengetahui Asuhan Keperawatan pasien Hidrochepalus
BAB II
PEMBAHASAN
A.Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
Hidrocefalus adalah keadaan patologik otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan cerebrospinal dan adanya tekanan intrakranial (TIK) yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat mengeluarkan likuor (Depkes RI, 1989).
Hidrocefalus adalah kelebihan cairan cerebrospinalis di dalam kepala. Biasanya di dalam sistem ventrikel atau gangguan hidrodinamik cairan likuor sehingga menimbulkan peningkatan volume intravertikel (Setyanegara, 1998).
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Darsono, 2005:209).
Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (DeVito EE et al, 2007:328).
2. Epidemiologi
Insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000 kelahiran dan 11%-43% disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri. Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis. Hidrosefalus infantil; 46% adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior (Darsono, 2005:211).
3. Penyebab
Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebrospinal (CSS) pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya (Allan H. Ropper, 2005). Teoritis pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang abnormal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi.
Beberapa penyebab terjadinya hidrocefalus:
1. Kelainan bawaan
a) Stenosis Aquaductus sylvii
Merupakan penyebab yang paling sering pada bayi/anak (60-90%). Aquaductus dapat mengalami stenosis dimana saluran ini menjadi lebih sempit dari biasanya. Umumnya gejala Hidrocefalus terlihat sejak lahir/progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah lahir.
b) Spina bifida dan cranium bifida
Biasanya berhubungan dengan sindrom Arnold-Chiari akibat tertariknya medula spinalis dengan medula oblongata dan cerebelum, letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian/total.
c) Sindrom Dandy-Walker
Merupakan atresia congenital foramen luscha dan mengendie yang mengakibatkan hidrocefalus obstruktif dengan pelebaran sistem ventrikel terutama ventrikel IV sehingga merupakan krista yang besar di daerah losa posterior.
d) Kista Arachnoid
Dapat terjadi secara conginetal dan membagi etiologi menurut usia.
e) Anomali pembuluh darah
2. Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga dapat terjadi obliterasi ruangan subaraknoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen di akuaduktus sylvii atau sisterna basalis. Lebih banyak hidrosepalus terdapat pasca meningitis. Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitisnya. Secara patologis terdapat penebalan jaringan piamater dan araknoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan meningen terutama terdapat di daerah basal sekitar sisterna kiasmatika dan interpendunkularis, sedangkan pada meningitis purulenta lokalisasinya lebih tersebar.
3. Perdarahan
Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri (Allan H. Ropper, 2005:360).
4. Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat aliran CSS. Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum, penyumbatan bagian depan ventrikel III disebabkan kraniofaringioma.
4. Patofisiologi
Tekanan negatif CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh pleksus khoroidalis kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam piamater dan arakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Cairan likuor serebrospinalis terdapat dalam suatu sistem, yakni sistem internal dan sistem eksternal. Pada orang dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan prematur kecil 10-20 ml. Cairan yang tertimbun dalam ventrikel 500-1500 ml (Darsono, 2005). CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen Monro menuju ventrikel yang ketiga, tempat dimana cairan tersebut menyatu dengan cairan yang telah disekresi ke ventrikel ketiga. Dari sana CSS mengalir melalui akueduktus Sylvii menuju ventrikel keempat, tempat dimana cairan lebih banyak dibentuk, kemudian cairan tersebut akan meninggalkan ventrikel keempat melewati foramen Luschka lateral dan garis tengah foramen Magendie dan mengalir menuju sisterna magna. Dari sana CSS mengalir ke serebral dan ruang subaraknoid serebellum, dimana cairan akan diabsorpsi. Sebagian besar diabsorpsi melalui villi araknoid, tetapi sinus, vena dan substansi otak juga berperan dalam absorpsi.
Penutupan sisterna basalis menyebabkan gangguan kecepatan reabsorbsi CSS oleh sistem kapiler. (DeVito EE et al, 2007:32)
Hidrosefalus secara teoritis terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu :
1. Produksi likuor yang berlebihan
2. Peningkatan resistensi aliran likuo
3. Peningkatan tekanan sinus venosa
Konsekuensi tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan intrakranial sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat selama perkembangan hidrosefalus.
Produksi likuor yang berlebihan disebabkan tumor pleksus khoroid. Gangguan aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus.
Peningkatan resistensi yang disebabkan gangguan aliran akan meningkatkan tekanan likuor secara proporsional dalam upaya mempertahankan reabsorbsi yang seimbang.
Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif tinggi. Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians tengkorak. (Darsono, 2005:212).
Berdasarkan hal di atas akan terjadi penimbunan berlebihan (abnormal) cairan serebrosvinal pada ruang-ruang yang secara normal terdapat CSS. Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm. Pada umur 1 tahun lingkaran kepala tersebut dapat mencapai 45 cm. Pada penderita hidrosefalus lingkaran kepala itu jauh di atas lingkaran yang normal.
Kepala itu membesar “out of proportion” oleh karena :
a) Tekanan intrakranium terus meningkat.
Tekanan ini meningkat karena reabsorbsi dari likuor itu tidak dapat berfungsi dengan baik. Misalnya suatu stenosis pada akuaduktus Sylvii akan dapat menimbulkan gangguan pada peredaran likuor, yang menimbulkan hdrocefalus.
b) Sutura diantara tulang-tulang kepala belum menutup, sehingga kepala terus membesar. Oleh karena itu, maka penderita tidak banyak memperlihatkan gejala atau tanda tekanan intrakranium yang meningkat. Penderita tidak akan menangis terus-menerus karena nyeri kepala; penderita tidak akan memperlihatkan muntah proyektil.
5. Klasifikasi
Hidrocefalus dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu:
1) Hidrocefalus kongenitus
Hidocefalus kongenitus dapat timbul karena adanya malformasi pada system saraf pusat, seperti karena adanya:
1. Anomali Arnold-Chiari, yang dapat timbul bersama dengan suatu meningokel atau suatu meningomielokel.
2. Stenosis dari akuaduktus sylvii
3. Malformasi dari Dandy-Walker. Pada sindrom Dandy-Walker terdapat atresi dari foramen luschka dan Megendie.
4. Kiste-kiste subaraknoidal
5. Aneurisma dari vena cerebri magna Galeni, yang menekan pada akuaduktus Sylvii.
2) Hidrocefalus kuisita
Hidrosefalus akuisita timbul sesudah :
1. Trauma kapatis
2. Pendarahan subarachnoidal
3. Infeksi pada SSP seperi, Meningitis tuberkulosa, meningitis Hemofilus influenza, Toksoplasmosis.
3) Normal Pressure Hidrocefalus
Pada Normal Pressure Hidrocefalus dapat ditemukan:
1. Retardasi mental dengan disorientasi dan pelupa
2. Paraparese dan ataksi
3. Inkontinensia Urina
4. Ventrikel yang melebar dengan tekanan yang normal.
Selain itu, hidrocefalus dapat dibagi pula menjadi :
1. Hidrocefalus komunikan
Pada hidrocefalus komunikan terdapat hubungan yang baik diantara ventrikel dengan ruang subarakhnoidal di daerah lumbal. Hidrocefalus komunikan dapat disebabkan oleh pleksus koroideus neonatus yang berkembang berlebihan sehingga lebih banyak cairan yang terbentuk daripada yang direabsorbsi oleh vili subarachnoidalis. Dengan demikian, cairan terkumpul di dalam ventrikel maupun di luar otak sehingga kepala membesar dan otak mengalami kerusakan berat. Selain itu, hidrocefalus komunikan juga dapat disebabkan karena reabsorbsi CSF yang mengalami gangguan. Penumpukan CSF akan menyebabkan pembesaran bertahap pada ventrikel keempat yang pada gilirannya akan menimbulkan penekanan destruktif pada jaringan otak sekitarnya. Karena ventrikel yang membesar maka tekanan didalamnya biasanya normal atau menurun, walaupun volumenya meningkat. Oleh karena itu, hidrocefalus ini sering disebut dengan hidrocefalus tekanan normal atau tekanan rendah.
2. Hidrocefalus nonkomunikan
Penyakit ini dinamai pula hidrocefalus obstruktif, yang jelas menunjukkan tidak adanya hubungan antara ventrikel dengan ruang subarachnoidal di lumbal.
Penyebab hidrocefalus nonkomunikan ini adalah penyempitan pada akuaduktus Sylvii congenital; oleh karena cairan dibentuk oleh pleksus koroideus dari kedua ventrikel dan ventrikel ketiga, maka volume ketiga ventrikel tersebut menjadi membesar. Hal ini menyebabkan penekanan otak terhadap tengkorak sehingga otak menjadi tipis.
Suatu cara untuk membedakan hidrocefalus komunikan dengan nonkomunikan adalah dengan jalan mengukur tekanan likuor dalam ventrikulus lateralis dan tekanan likuor di kantong lumbal secara bersamaan.
6. Gejala Klinis
Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada awitan dan derajat ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS (Darsono, 2005). Gejala-gejala yang menonjol merupakan refleksi adanya hipertensi intrakranial. Kepala bisa berukuran normal dengan fontanela anterior menonjol, lama kelamaan menjadi besar dan mengeras menjadi bentuk yang karakteristik oleh peningkatan dimensi ventrikel lateral dan anterior – posterior diatas proporsi ukuran wajah dan badan bayi.
Ubun – ubun melebar atau tidak menutup pada waktunya, teraba tegang atau menonjol. Dahi tampak melebar dengan kulit kepala yang menipis, tegang dan mengkilat dengan pelebaran vena kulit kepala. Sutura tengkorak belum menutup dan teraba melebar.
Didapatkan “cracked pot sign” yaitu bunyi seperti pot kembang yang retak pada perkusi kepala. Bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang supraorbita. Sclera tampak di atas iris sehingga iris seakan – akan matahari yang akan terbenam (sunset sign). Pergerakan bola mata yang tidak teratur dan nigtagmus tidak jarang terjadi. Kerusakan saraf yang memberikan gejala kelainan neurologis berupa gangguan kesadaran, motoris atau kejang, kadang – kadang gangguan pusat vital, bergantung pada kemampuan kepala untuk membesar dalam mengatasi tekanan intrakranial yang meninggi. Bila proses berlangsung lambat, maka mungkin tidak terdapat gejala neurologis walaupun terdapat pelebaran ventrikel yang hebat, sebaliknya ventrikel yang belum begitu melebar akan tetapi prosesnya berlangsung dengan cepat sudah memperlihatkan kelainan neurologis yang nyata. Puncak orbital tertekan kebawah dan mata terletak agak kebawah dan keluar dengan penonjolan putih mata yang tidak biasanya. Tampak adanya distensi vena superfisialis dan kulit kepala menjadi tipis serta rapuh.
Manifestasi klinis dari hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu :
1. Awitan hidrosefalus terjadi pada masa neonatus
Meliputi pembesaran kepala abnormal, gambaran tetap hidrosefalus kongenital dan pada masa bayi. Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan pertumbuhan ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama tahun pertama kehidupan. Kranium terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah frontal. Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa. Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis. Vena-vena di sisi samping kepala tampak melebar dan berkelok. (Peter Paul Rickham, 2003).
2. Awitan hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak
Pembesaran kepala tidak bermakna, tetapi nyeri kepala sebagai manifestasi hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas. Dapat disertai keluhan penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus. Secara umum gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia dua tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrania mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal. Makrokrania biasanya disertai empat gejala hipertensi intrakranial lainnya yaitu:
a. Fontanel anterior yang sangat tegang.
b. Sutura kranium tampak atau teraba melebar.
c. Kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial menonjol.
d. Fenomena ‘matahari tenggelam’ (sunset phenomenon).
3. Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah, gangguan kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada kasus yang telah lanjut ada gejala gangguan batang otak akibat herniasi tonsiler (bradikardia, aritmia respirasi). (Darsono, 2005:213)
Selain hal di atas menurut Ngastiyah, gejala yang nampak dapat berupa (Ngastiyah, 1997; Depkes;1998)
1. TIK yang meninggi: muntah, nyeri kepala, edema pupil saraf otak II
2. Pada bayi biasanya disertai pembesaran tengkorak
3. Kepala bayi terlihat lebih besar bila dibandingkan dengan tubuh
4. Ubun-ubun besar melebar atau tidak menutup pada waktunya teraba tegang dan mengkilat dengan perebaran vena di kulit kepala
5. Sutura tengkorak belum menutup dan teraba melebar
6. Terdapat sunset sign pada bayi (pada mata yang kelihatan hitam-hitamnya, kelopak mata tertarik ke atas)
7. Bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang suborbita
8. Sklera mata tampak di atas iris
9. Pergerakan mata yang tidak teratur dan nistagmus tak jarang terdapat
10. Kerusakan saraf yang memberi gejala kelainan neurologis berupa gangguan kesadaran motorik atau kejang-kejang, kadang-kadang gangguan pusat vital.
7. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
• Tampak adanya pembesaran kepala. Lingkar kepala dapat mencapai 45 cm.
• Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa. Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis.
• Kulit kepala tampak licin/mengkilap.
• Adanya fenomena sun-set sign
• Tampak adanya hiperrefleksi ekstremitas
• Adanya tanda-tanda paraparesis spastic dengan reflex tendon lutut/Achilles yang meningkat serta dengan Babinski yang positif kanan dan kiri.
Perkusi
• Perkusi pada bagian dibelakang tempat pertemuan os frontale dan os temporal, maka dapat timbul resonnansi seperti bunyi kendi retak (cracked pot resonance). Tanda ini dinamakan Macewen`s sign.
Palpasi
• Sutura teraba melebar dan belum menutup
8. Pemeriksaan Diagnostik
•
• Foto Rontgen
Foto rotgen memperlihatkan kepala yang membesar dengan sutura dan fontanel yang masih terbuka. Tulang-tulang kepala tampak sangat tipis. Bila fosa crania posterior tampak kecil dibandingkan fossa crania medial dan anterior maka mungkin hidrocefalus tersebut ditimbulkan oleh suatu stenosis akuaduktus sylvii.
• Pemeriksaan CT Scan
Memperlihatkan susunan ventrikel yang membesar secara simetris.
• Fungsi ventrikel kadang digunakan untuk menukur tekanan intra kranial menghilangkan cairan serebrospinal untuk kultur (aturan ditentukan untuk pengulangan pengaliran)
• EEG : untuk mengetahui kelainan genetik atau metabolik
Transluminasi : Untuk mengetahui apakah adanya kelainan dalam kepala
• MRI : ( Magnetik resonance imaging ) memberi informasi mengenai stuktur otak tanpa kena radiasi
9. Therapi/Tindakan Penanganan
Penanganan hidrocefalus masuk pada katagori ”live saving and live sustaining” yang berarti penyakit ini memerlukan diagnosis dini yang dilanjutkan dengan tindakan bedah secepatnya. Keterlambatan akan menyebabkan kecacatan dan kematian sehingga prinsip pengobatan hidrocefalus harus dipenuhi yakni:
1. Mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak pleksus koroidalis dengan tindakan reseksi atau pembedahan, atau dengan obat azetasolamid (diamox) yang menghambat pembentukan cairan serebrospinal.
2. Memperbaiki hubungan antara tempat produksi cairan serebrospinal dengan tempat absorbsi, yaitu menghubungkan ventrikel dengan subarakhnoid
3. Pengeluaran cairan serebrospinal ke dalam organ ekstrakranial, yakni:
a. Drainase ventrikule-peritoneal (Holter, 1992; Scott, 1995;Anthony JR, 1972)
b. Drainase Lombo-Peritoneal
c. Drainase ventrikulo-Pleural (Rasohoff, 1954)
d. Drainase ventrikule-Uretrostomi (Maston, 1951)
e. Drainase ke dalam anterium mastoid
f. Mengalirkan cairan serebrospinal ke dalam vena jugularis dan jantung melalui kateter yang berventil (Holter Valve/katup Holter) yang memungkinkan pengaliran cairan serebrospinal ke satu arah. Cara ini merupakan cara yang dianggap terbaik namun, kateter harus diganti sesuai dengan pertumbuhan anak dan harus diwaspadai terjadinya infeksi sekunder dan sepsis.
4. Tindakan bedah pemasangan selang pintasan atau drainase dilakukan setelah diagnosis lengkap dan pasien telah di bius total. Dibuat sayatan kecil di daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan selaput otak, lalu selang pintasan dipasang. Disusul kemudian dibuat sayatan kecil di daerah perut, dibuka rongga perut lalu ditanam selang pintasan, antara ujung selang di kepala dan perut dihubungakan dengan selang yang ditanam di bawah kulit hingga tidak terlihat dari luar.
5. Pengobatan modern atau canggih dilakukan dengan bahan shunt atau pintasan jenis silicon yang awet, lentur, tidak mudah putus. VRIES (1978) mengembangkan fiberoptik yang dilengkapi perawatan bedah mikro dengan sinar laser sehingga pembedahan dapat dipantau melalui televisi.
6. Penanganan Sementara
Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau upaya meningkatkan resorbsinya.
Pada hidrocefalus karena stenosis akuaduktus sylvii , pengalihan aliran likuor dapat dilakukan dengan menghubungkan ventrikulus lateralis dengan sisterna serebello medullari. Hasil yang lebih baik dapat dicapai dengan mengalihkan aliran likuor dengan menghubungkan ruang subaraknoidal dengan rongga peritoneum atau dengan vena cava superior. akan tetapi untuk tindakan ini diperlukan adanya suatu katup untuk mengatur aliran agar tetap ventrikulofugal. Terdapat dua katup yang digunakan dalah operasi “shunt” yaitu, katup Spitz-Holter dan katup Pudenz-Heyer.
10. Komplikasi
Komplikasi Hidrocefalus menurut Prasetio (2004)
1. Peningkatan TIK
2. Pembesaran kepala
3. Kerusakan otak
4. Retardasi mental
5. Meningitis, ventrikularis, abses abdomen
6. Ekstremitas mengalami kelemahan, inkoordinasi, sensibilitas kulit menurun
7. Kerusakan jaringan saraf
8. Proses aliran darah terganggu
11. Diagnosis Banding
Penyakit yang hendaknya ikut dipertimbangkan adalah:
1. Hematoma subdural yang timbul perinatal
2. Tumor intrakranium
3. Makrosefali
4. Hidranensefali
Pada Hidranensefali kedua hemisfer tidak terbentuk, tetapi pleksus khorioideus dan ganglia basalis masih utuh. Dengan demikian produksi likuor masih berlangsung baik.
12. Prognosis
Prognosa suatu hidrocefalus kongenitus bila tidak dilakukan operasi pengalihan aliran likuor adalah kurang baik walaupun sewaktu-waktu dapat terjadi keseimbangan diantara produksi likuor dan resorbsinya, sehingga kepala bayi tidak lagi bertambah besar.
Hidrosefalus yang tidak diterapi akan menimbulkan gejala sisa, gangguan neurologis serta kecerdasan. Dari kelompok yang tidak diterapi, 50-70% akan meninggal karena penyakitnya sendiri atau akibat infeksi berulang, atau oleh karena aspirasi pneumonia.
Namun bila prosesnya berhenti (arrested hidrosefalus) sekitar 40% anak akan mencapai kecerdasan yang normal (Allan H. Ropper, 2005). Pada kelompok yang dioperasi, angka kematian adalah 7%. Setelah operasi sekitar 51% kasus mencapai fungsi normal dan sekitar 16% mengalami retardasi mental ringan. Adalah penting sekali anak hidrosefalus mendapat tindak lanjut jangka panjang dengan kelompok multidisipliner. (Darsono, 2005).
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan laboratorium untuk memperoleh informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat rencana asuhan keperawatan klien. Dari wawancara akan diperoleh informasi tentang biodata, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat kesehatan atau penyakit di masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pola aktifitas sehari-hari, dan riwayat psikososial.
a. Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, dan tingkat kesadaran kualitatif atau GCS.
b. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
• Tekanan darah: sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji tekanan nadi, dan kondisi patologis.
• Pulse rate meningkat/menurun tergantung dari mekanisme kompensasi, sistem konduksi jantung & pengaruh sistem saraf otonom.
• Respiratory rate
• Suhu
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
• Tampak adanya pembesaran kepala. Lingkar kepala dapat mencapai 45 cm.
• Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa. Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis.
• Kulit kepala tampak licin/mengkilap.
• Adanya fenomena sun-set sign
• Tampak adanya hiperrefleksi ekstremitas
• Adanya tanda-tanda paraparesis spastic dengan reflex tendon lutut/Achilles yang meningkat serta dengan Babinski yang positif kanan dan kiri.
Perkusi
• Perkusi pada bagian dibelakang tempat pertemuan os frontale dan os temporal, maka dapat timbul resonnansi seperti bunyi kendi retak (cracked pot resonance). Tanda ini dinamakan Macewen`s sign.
Palpasi
• Sutura teraba melebar dan belum menutup
d. Pemeriksaan Diagnostik
• Foto Rontgen
Foto rotgen memperlihatkan kepala yang membesar dengan sutura dan fontanel yang masih terbuka. Tulang-tulang kepala tampak sangat tipis. Bila fosa crania posterior tampak kecil dibandingkan fossa crania medial dan anterior maka mungkin hidrocefalus tersebut ditimbulkan oleh suatu stenosis akuaduktus sylvii.
• Pemeriksaan CT Scan
Memperlihatkan susunan ventrikel yang membesar secara simetris.
• Fungsi ventrikel kadang digunakan untuk menukur tekanan intra kranial menghilangkan cairan serebrospinal untuk kultur (aturan ditentukan untuk pengulangan pengaliran)
• EEG : untuk mengetahui kelainan genetik atau metabolik
Transluminasi : Untuk mengetahui apakah adanya kelainan dalam kepala
• MRI : ( Magnetik resonance imaging ) : memberi informasi mengenai stuktur otak tanpa kena radiasi
Pada hidrosefalus didapatkan :
Tanda-tanda awal :
1. Mata juling
2. Sakit kepala
3. Lekas marah
4. Lesu
5. Menangis jika digendong dan diam bila berbaring
6. Mual dan muntah yang proyektil
7. Melihat kembar
8. Ataksia
9. Perkembangan yang berlangsung lambat
10. Pupil edema
11. Respon pupil terhadap cahaya lambat dan tidak sama
12. Biasanya diikuti: perubahan tingkat kesadaran, opistotonus dan spastik pada ekstremitas bawah
13. Kesulitan dalam pemberian makanan dan menelan
14. Gangguan cardio pulmoner
Tanda-tanda selanjutnya:
1. Nyeri kepala diikuti dengan muntah-muntah
2. Pupil edema
3. Strabismus
4. Peningkatan tekanan darah
5. Denyut nadi lambat
6. Gangguan respirasi
7. Kejang
8. Letargi
9. Muntah
10. Tanda-tanda ekstrapiramidal/ataksia
11. Lekas marah
12. Lesu
13. Apatis
14. Kebingungan
15. Kebutaaan
2. Diagnosa keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan hidrocefalus antara lain :
Diagnosa keperawatan pre-op
1. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial ditandai dengan gangguan aliran darah ke otak.
2. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial akibat hidrocefalus ditandai dengan pasien mengeluh nyeri kepala, pasien tampak meringis kesakitan, pasien tampak melindungi area yang sakit dan tamapk berhati-hati saat menggerakkan kepalanya.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan muntah sekunder akibat kompresi serebral dan iritabilitas.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan ekstremitas bawah akibat hidrocefalus ditandai dengan opistotonus dan spastic ekstremitas bawah, keterbatasan dalam bergerak.
5. Risiko cedera berhubungan dengan ketidakmampuan untuk menyangga kepala yang besar dan rasa tegang pada leher.
6. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan kemampuan untuk menggerakan kepala sekunder akibat ukuran kepala yang tidak normal.
Diagnosa keperawatan post-op
1. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan sekunder akibat tindakan operasi ditandai dengan pasien mengeluh nyeri, tampak meringis dan berhati-hati saat bergerak.
2. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya jalur invasif akibat pemasangan VP shunt.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan penyakit dan perawatan pasca operasi.
3. Rencana keperawatan
Pre op
1) Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial ditandai dengan gangguan aliran darah ke otak.
Tujuan
Setelah diberikan askep diharapkan perfusi jaringan serebral adekuat, dengan out come :
• Tingkat kesadaran membaik (GCS: E4 M6 V5).
• Tidak kaku kuduk.
• Tidak terjadi kejang.
• TD dalam batas normal (bayi 85/54 mmHg, toddler 95/65 mmHg, sekolah 105-165 mmHg, remaja 110/65 mmHg).
• Tidak terjadi muntah progresif
• Tidak sakit kepala
• GDA normal( > 95%)
Intervensi
a) Pertahankan tirah baring dengan posisi kepala datar dan pantau tanda vital sesuai indikasi setelah dlakukan pungsi lumbal.
Rasional : Perubahan tekanan CSS mungkin merupakan potensi adanya risiko herniasi batang otak yang memerlukan tindakan medis segera.
b) Pantau/catat status neurologis, seperti GCS.
Rasional : Pengkajian kecenderungan adanya perubahan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK adalah sangat berguna dalam menentukan lokasi, penyebaran/luasnya dan perkembangan dari kerusakan serebral.
c) Pantau frekuensi/irama jantung dan denyut jantung.
Rasional : Perubahan pada frekuensi,disritmia dan denyut jantung dapat terjadi, yang mencerminkan trauma batang otak pada tidak adanya penyakit jantung yang mendasari.
d) Pantau pernapasan, catat pola, irama pernapasan dan frekuensi pernapsan.
Rasional : Tipe dari pola pernapasan merupakan tanda yang berat dari adanya peningkatan TIK/daerah serebral yang terkena.
e) Tinggikan kepala tempat tidur sekitar 15-45 derajat sesuai indikasi. Jaga kepala pasien tetap berada pada posisi netral.
Rasional : Peningkatan aliran vena dari kepala akan menurunkan TIK.
f) Pantau GDA. Berikan terapi oksigen sesuai kebutuhan.
Rasional : Terjadinya asidosis dapat menghambat masuknya oksigen pada tingkat sel yang memperburuk iskemia serebral.
g) Berikan obat sesuai indikasi seperti : Steroid ;deksametason, metilprednison (medrol).
Rasional : Dapat menurunkan permeabilitas kapiler untuk membatasi pembentukan edema serebral, dapat juga menurunkan risiko terjadinya “fenomena rebound” ketika menggunakan manitol.
2) Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial akibat hidrocefalus ditandai dengan pasien mengeluh nyeri kepala, pasien tampak meringis kesakitan, pasien tampak melindungi area yang sakit.
Tujuan
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan diharapkan nyeri dada klien hilang dengan kriteria hasil: pasien mengatakan nyeri kepala berkurang atau hilang (skala nyeri 0), dan tampak rileks, tidak meringis kesakitan, nadi normal dan RR normal.
Intervensi :
1. Kaji pengalaman nyeri pada anak, minta anak menunjukkan area yang sakit dan menentukan peringkat nyeri dengan skala nyeri 0-5 (0 = tidak nyeri, 5 = nyeri sekali)
Rasional : Membantu dalam mengevaluasi rasa nyeri.
2. Bantu anak mengatasi nyeri seperti dengan memberikan pujian kepada anak untuk ketahanan dan memperlihatkan bahwa nyeri telah ditangani dengan baik.
Rasional : Pujian yang diberikan akan meningkatkan kepercayaan diri anak untuk mengatasi nyeri dan kontinuitas anak untuk terus berusaha menangani nyerinya dengan baik.
3. Pantau dan catat TTV.
Rasional : Perubahan TTV dapat menunjukkan trauma batang otak.
4. Jelaskan kepada orang tua bahwa anak dapat menangis lebih keras bila mereka ada, tetapi kehadiran mereka itu penting untuk meningkatkan kepercayaan.
Rasional : Pemahaman orang tua mengenai pentingnya kehadiran, kapan anak harus didampingi atau tidak, berperan penting dalam menngkatkan kepercayaan anak.
5. Gunakan teknik distraksi seperti dengan bercerita tentang dongeng menggunakan boneka.
Rasional : Teknik ini akan membantu mengalihkan perhatian anak dari rasa nyeri yang dirasakan.
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan muntah sekunder akibat kompresi serebral dan iritabilitas.
Tujuan :
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan diharapkan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi dengan kriteria hasil : tidak terjadi penurunan berat badan sebesar 10% dari berat awal, tidak adanya mual-muntah.
Intervensi :
a) Pertahankan kebersihan mulut dengan baik sebelum dan sesudah mengunyah makanan.
Rasional : Mulut yang tidak bersih dapat mempengaruhi rasa makanan dan meninbulkan mual.
b) Tawarkan makanan porsi kecil tetapi sering untuk mengurangi perasaan tegang pada lambung.
Rasional : Makan dalam porsi kecil tetapi sering dapat mengurangi beban saluran pencernaan. Saluran pencernaan ini dapat mengalami gangguan akibat hidrocefalus.
c) Atur agar mendapatkan nutrien yang berprotein/ kalori yang disajikan pada saat individu ingin makan.
Rasional : Agar asupan nutrisi dan kalori klien adeakuat.
d) Timbang berat badan pasien saat ia bangun dari tidur dan setelah berkemih pertama.
Rasional : Menimbang berat badan saat baru bangun dan setelah berkemih untuk mengetahui berat badan mula-mula sebelum mendapatkan nutrient
e) Konsultasikan dengan ahli gizi mengenai kebutuhan kalori harian yang realistis dan adekuat.
Rasional : Konsultasi ini dilakukan agar klien mendapatkan nutrisi sesuai indikasi dan kebutuhan kalorinya.
4) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan ekstremitas bawah akibat hidrocefalus ditandai dengan opistotonus dan spastic ekstremitas bawah, keterbatasan dalam bergerak.
Tujuan :
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan diharapkan hambatan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil:
Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi umum
Mandiri :
a) Hindari berbaring atau duduk dalam posisi yang sama dalam waktu lama.
Rasional : Berbaring atau duduk dalam posisi yang sama dalam waktu lama dapat meningkatkan kekakuan otot dan menimbulkan risiko dekubitus.
b) Ajarkan latihan rentang gerak aktif pada anggota gerak yang sehat sedikitnya 4x sehari.
Rasional : Untuk merelaksasikan otot agar imobilitas fisik perlahan-lahan dapat teratasi
c) Lakukan mandi air hangat.
Rasional : Mandi air hangat dapat mengurangi kekakuan tubuh pada pagi hari dan memperbaiki mobilitas
d) Anjurkan untuk ambulasi, dengan atau tanpa alat bantu.
Rasional : Untuk melatih otot agar terbiasa untuk mobilisasi
e) Lakukan pengukuran kekuatan otot.
Rasional : Untuk mengkaji sejauhmana kemampuan otot pasien.
5) Risiko cedera berhubungan dengan ketidakmampuan untuk menyangga kepala yang besar dan rasa tegang pada leher.
Tujuan :
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan diharapkan cidera tidak terjadi dengan kriteria hasil :
• Tidak ada luka
• Pasien tidak terjatuh
Intervensi :
a) Orientasikan anak pada kondisi di sekelilingnya.
Rasional : Mengetahui kondisi sekeliling membantu mencegah terjadinya cidera.
b) Diskusikan dengan orang tua perlunya pemantauan konstan terhadap anak kecil.
Rasional : Anak yang hidrocefalus dapat mengalami kebingungan dan penurunan kesadaran. Oleh karen itu, orang tua perlu melakukan pemantauan yang dilakukan secara terus-menerus untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang mengenai anak.
c) Lakukan kewaspadaan keamanan pada anak yang bingung.
Rasional : Kewaspadaan dapat menghindarkan anak dari kemungkinan mengalami cidera.
d) Gunakan tempat tidur rendah, dengan pagar yang terpasang
Rasional : Penggunaan tempat tidur yang rendah dengan pagar terpasang dapat menghindari terjatuhnya anak dari tempat tidur.
e) Gunakan matras pada lantai
Rasional : Mencegah anak mengalami cidera dan mengantisipasi kemungkinan anak terjatuh ke lantai.
6) Risiko kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan kerusakan kemampuan untuk menggerakan kepala sekunder akibat ukuran kepala yang tidak normal.
Tujuan :
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama diharapkan kerusakan integritas kulit tidak terjadi dengan kriteria hasil :
Tidak ada lesi, eritema, pruritus, abrasi ( lecet )
Tidak adanya Gangguan jaringan epidermis dan dermis
Intervensi :
a) Dorong latihan rentang gerak dan mobilitas kepala, bila memungkinkan.
Rasional : Latihan menggerakkan kepala mencegak penekanan pada area tertentu yang dapat mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
b) Ubah posisi atau instruksikan anak untuk berbalik dan menggerakkan kepala.
Rasional : Membantu mengurangi tekanan pada hanya pada area tertentu saja.
c) Amati adanya eritema dan kepucatan, dan lakukan palpasi untuk mengetahui adanya area yang hangat dan jaringan seperti spon pada setiap perubahan posisi.
Rasional : Eritema, kepucatan dapat mengindikasikan adanya kerusakan integritas kulit.
Post op
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan sekunder akibat tindakan operasi ditandai dengan pasien mengeluh nyeri, tampak meringis dan berhati-hati saat bergerak.
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan diharapkan nyeri yang dirasakan klien hilang dengan kriteria hasil: pasien mengatakan nyeri kepala berkurang atau hilang (skala nyeri 0), dan tampak rileks, tidak meringis kesakitan,
nadi normal dan RR normal.
Tujuan
Intervensi :
a) Kaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien, minta anak menunjukkan area yang sakit dan menentukan peringkat nyeri dengan skala nyeri 0-5 (0 = tidak nyeri, 5 = nyeri sekali)
Rasional : Membantu dalam mengevaluasi rasa nyeri.
b) Bantu anak mengatasi nyeri seperti dengan memberikan pujian kepada anak untuk ketahanan dan memperlihatkan bahwa nyeri telah ditangani dengan baik.
Rasional : Pujian yang diberikan akan meningkatkan kepercayaan diri anak untuk mengatasi nyeri dan kontinuitas anak untuk terus berusaha menangani nyerinya dengan baik.
c) Pantau dan catat TTV.
Rasional : Perubahan TTV dapat menunjukkan trauma batang otak.
d) Jelaskan kepada orang tua bahwa anak dapat menangis lebih keras bila mereka ada, tetapi kehadiran mereka itu penting untuk meningkatkan kepercayaan.
Rasional : Pemahaman orang tua mengenai pentingnya kehadiran, kapan anak harus didampingi atau tidak, berperan penting dalam menngkatkan kepercayaan anak.
e) Gunakan teknik distraksi seperti dengan bercerita tentang dongeng menggunakan boneka.
Rasional : Teknik ini akan membantu mengalihkan perhatian anak dari rasa nyeri yang dirasakan.
f) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional : pemberian analgetik dapat membantu menghilangkan rasa nyeri.
2) Risiko infeksi berhubungan dengan adanya jalur invasif akibat pemasangan VP shunt.
Tujuan :
Setelah diberi asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi/ adanya gejala –gejala infeksi dengan kriteria hasil :
• Tidak demam, tidak adanya kemerahan, tidak adanya bengkak, dan tidak adanya penurunan fungsi.
• Tidak ada nyeri setempat
Intervensi :
a) Dorong teknik mencuci tangan dengan baik
Rasional : Mencegah infeksi nosokomial saat perawatan.
b) Bersihkan daerah pemasangan VP shunt secara berkala
Rasional : mencegah infeksi dengan mencegah pertumbuhan bakteri di daerah pemasangan.
c) Kaji kondisi luka pasien
Rasional : Mengetahui apakah terjadinya tanda-tanda infeksi
d) Berikan antibiotik sesuai dengan indikasi
Rasional : Pemberian antibiotik dapat mecegah terjadinya infeksi.
3) Kurang pengetahuan berhubungan dengan penyakit dan perawatan pasca operasi.
Tujuan :
Setelah diberi asuhan keperawatan diharapkan pasien mengetahui tentang penyakit yang dialami dan memahami tentang perawatan pasca operasi dengan kriteria hasil :
• Pasien dan keluarga memahami tentang penyakit
• Pasien menunjukan perubahan prilaku
Intervensi :
a) Tentukan tingkat pengetahuan pasien dan kemampuan untuk berperan serta dalam proses rehabilitasi
Rasional : mempengaruhi pilihan terhadap intervensi yang akan dilakukan
b) Jelaskan kembali mengenai penyakit yang diderita pasien dan perlunya pengobatan atau penanganan.
Rasional : memberikan kesempatan untuk mengklrifikasi kesalahan persepsi.
c) Anjurkan untuk mengungkapkan apa yang dialami, bersosialisasi dan meningkatkan kemandiriannya.
Rasional : meningkatkan kembali pada perasaan normal dan perkembangan hidupnya pada situasi yang ada.
d) Bekerja dengan orang terdekat untuk menentukan peralatan yang diperlukan dalam rumah sebelum pasien pulang.
Rasional : jika pasien dapat kembali kerumah, perawatan dapat difasilitasi dengan alat bantu.
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian dari implementasi yang dilakukan.
Pre-op
Dx Intervensi
1. Tercapainya perfusi jaringan serebral adekuat, tingkat kesadaran normal (GCS: E4 M6 V5), tidak kaku kuduk, tidak terjadi kejang dan TD dalam batas normal (bayi 85/54 mmHg, toddler 95/65 mmHg, sekolah 105-165 mmHg, remaja 110/65 mmHg).
2. Nyeri berkurang, hilang, atau dapat dikontrol serta tampak rileks dan tidur/istirahat dengan baik, skala nyeri 0, dan tampak rileks, tidak meringis kesakitan, nadi normal dan RR normal
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi, tidak terjadi penurunan berat badan sebesar 10% dari berat awal, tidak adanya mual-muntah.
4. Tercapainya mobilitas secara mandiri, tercapainya peningkatan kekuatan dan fungsi umum
5. Cidera tidak terjadi. Tidak ada lukadan. Pasien tidak terjatuh
6. Kerusakan integritas kulit tidak terjadi. Tidak ada lesi, eritema, pruritus, abrasi ( lecet ). Tidak adanya gangguan jaringan epidermis dan dermis
Post-op
Dx Intervensi
1. Nyeri berkurang, hilang, atau dapat dikontrol serta tampak rileks dan tidur/istirahat dengan baik, skala nyeri 0, dan tampak rileks, tidak meringis kesakitan, nadi normal dan RR normal
2. Infeksi tidak terjadi dan tanda-tanda infeksi tidak ada. Tidak demam, tidak adanya kemerahan, tidak adanya bengkak, dan tidak adanya penurunan fungsi.
3. Pasien mengetahui tentang penyakit yang dialami dan memahami tentang perawatan pasca operasi. Pasien dan keluarga memahami tentang penyakit. Pasien menunjukan perubahan prilaku.
DAFTAR PUSTAKA
Ngoerah, I Gusti Ngoerah. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Purnawan J. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Ed2. Media Aesculapius. FKUI.1982.
Price, Sylvia A, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed4. Jakarta.
EGC. 1995.
Suddart, & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Syamsuhidayat, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Jakarta, EGC,
1997.
Wong and Whaley. ( 1995 ). Clinical Manual of Pediatric Nursing. Philadelphia:
http://aries-balinesepeople.blogspot.com/2010/09/askep-hidrosefalus.html
makasih infonya..........
BalasHapus